Research Laboratory : Share all about laboratory and research laboratory

Pages

kumpulblogger

Monday, August 6, 2012

WIDAL TEST


Gambaran klinis penyakit demam tifoid sangat bervariasi dari hanya sebagai penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian. Hal ini mungkin menyebabkan seorang ahli yang sudah berpengalamanpun dapat mengalami kesulitan dalam menegakkan diagnosis demam tifoid apabila hanya berdasarkan gambaran klinis. Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium mikrobiologi tetap diperlukan untuk memastikan penyebabnya. Tes ideal untuk suatu pemeriksaan laboratorium seharusnya bersifat sensitif, spesifik, dan cepat diketahui hasilnya. Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid yang ada sampai saat ini adalah dengan metode konvensional, yaitu kultur kuman dan uji serologi Widal serta metode non-konvensional, yaitu antara lain Poly-merase Chain Reaction (PCR), Enzyme Immunoassay Dot (EIA), dan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). 

DEFENISI
Widal test merupakan suatu uji serum darah yang memakai prinsip reaksi agglutinasi untuk mendiagnosa demam typhoid. Dengan kata lain merupakan tes serologi yang digunakan untuk mendeteksi demam typhoid.
PRINSIP
Prinsip pemeriksaan adalah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspense antigen Salmonella typhosa. Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (agglutinin). Antigen yang digunakan pada tes widal ini berasal dari suspense salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dalam laboratorium. Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar anti dapat ditentukan. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Tekhnik pemeriksaan uji widal dapat dilakukan dengan dua metode yaitu uji hapusan/ peluncuran (slide test) dan uji tabung (tube test). Perbedaannya, uji tabung membutuhkan waktu inkubasi semalam karena membutuhkan teknik yang lebih rumit dan uji widal peluncuran hanya membutuhkan waktu inkubasi 1 menit saja yang biasanya digunakan dalam prosedur penapisan. Umumnya sekarang lebih banyak digunakan uji widal peluncuran. Sensitivitas dan spesifitas tes ini amat dipengaruhi oleh jenis antigen yang digunakan. Menurut beberapa peneliti uji widal yang menggunakan antigen yang dibuat dari jenis strain kuman asal daerah endemis (local) memberikan sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi daripada bila dipakai antigen yang berasal dari strain kuman asal luar daerah enddemis (import). Walaupun begitu, menurut suatu penelitian yang mengukur kemampuan Uji Tabung Widal menggunakan antigen import dan antigen local, terdapat korelasi yang bermakna antara antigen local dengan antigen S.typhi O dan H import, sehingga bisa dipertimbangkan antigen import untuk dipakai di laboratorium yang tidak dapat memproduksi antigen sendiri untuk membantu menegakkan diagnosis demam typhoid.
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.
Pada pemeriksaan uji widal dikenal beberapa antigen yang dipakai sebagai parameter penilaian hasil uji Widal. Berikut ini penjelasan macam antigen tersebut :
    • Antigen O
      Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100°C selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer.
    • Antigen H
      Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhi dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau asam.
    • Antigen Vi
      Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier.
  • OuterMembrane Protein (OMP)
    Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85–100°C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa.
INTERPRETASI HASIL
Interpretasi dari uji widal ini harus memperhatikan beberapa factor antara lain sensitivitas, spesifitas, stadium penyakit; factor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; saat pengambilan specimen; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non endemis); factor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.
Beberapa factor yang dapat mempengaruhi uji Widal dapat dijelaskan sebagai berikut, antara lain :
  1. Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
  2. Saat pengambilan specimen : berdasarkan penelitian Senewiratne, dkk. kenaikan titer antibodi ke level diagnostic pada uji Widal umumnya paling baik pada minggu kedua atau ketiga, yaitu 95,7%, sedangkan kenaikan titer pada minggu pertama adalah hanya 85,7%.
  3. Pengobatan dini dengan antibiotika ; pemberian antibiotika sebelumnya dapat menghambat pembentukan antibodi.
  4. Vaksinasi terhadap salmonella bisa memberikan reaksi positif palsu. Hal ini dapat dijelaskan bahwa setelah divaksinasi titer agglutinin O dan H meningkat dan menetap selama beberapa waktu. Jalan keluarnya adalah dengan melakukan pemeriksaan ulang tes Widal seminggu kemudian. Infeksi akan menunjukkan peningkatan titer, sementara pasien yang divaksinasi tidak akan menunjukkan peningkatan titer.
  5. Obat-obatan immunosupresif dapat menghambat pembentukan antibodi.
  6. Reaksi anamnesa. Pada individu yang terkena infeksi typhoid di masa lalu, kadang-kadang terjadi peningkatan antibodi salmonella saat ia menderita infeksi yang bukan typhoid, sehingga diperlukan pemeriksaan Widal ulang seminggu kemudian.
  7. Reaksi silang ; Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive). Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).
  8. Penyakit-penyakit tertentu seperti malaria, tetanus, sirosis dapat menyebabkan positif palsu.
  9. Konsentrasi suspense antigen dan strain salmonella yang digunakan akan mempengaruhi hasil uji widal.
PENILAIAN
Kegunaan uji Widal untuk diagnosis demam typhoid masih kontroversial diantara para ahli. Namun hampir semua ahli sepakat bahwa kenaikan titer agglutinin lebih atau sama dengan 4 kali terutama agglutinin O atau agglutinin H bernilai diagnostic yang penting untuk demam typhoid. Kenaikan titer agglutinin yang tinggi pada specimen tunggal, tidak dapat membedakan apakah infeksi tersebut merupakan infeksi baru atau lama. Begitu juga kenaikan titer agglutinin terutama agglutinin H tidak mempunyai arti diagnostic yang penting untuk demam typhoid, namun masih dapat membantu dan menegakkan diagnosis tersangka demam typhoid pada penderita dewasa yang berasal dari daerah non endemic atau pada anak umur kurang dari 10 tahun di daerah endemic, sebab pada kelompok penderita ini kemungkinan mendapat kontak dengan S. typhi dalam dosis subinfeksi masih amat kecil. Pada orang dewasa atau anak di atas 10 tahun yang bertempat tinggal di daerah endemic, kemungkinan untuk menelan S.typhi dalam dosis subinfeksi masih lebih besar sehingga uji Widal dapat memberikan ambang atas titer rujukan yang berbeda-beda antar daerah endemic yang satu dengan yang lainnya, tergantung dari tingkat endemisitasnya dan berbeda pula antara anak di bawah umur 10 tahun dan orang dewasa. Dengan demikian, bila uji Widal masih diperlukan untuk menunjang diagnosis demam typhoid, maka ambang atas titer rujukan, baik pada anak dan dewasa perlu ditentukan.o
Salah satu kelemahan yang amat penting dari penggunaan uji widal sebagai sarana penunjang diagnosis demam typhpid yaitu spesifitas yang agak rendah dan kesukaran untuk menginterpretasikan hasil tersebut, sebab banyak factor yang mempengaruhi kenaikan titer. Selain itu antibodi terhadap antigen H bahkan mungkin dijumpai dengan titer yanglebih tinggi, yang disebabkan adanya reaktifitas silang yang luas sehingga sukar untuk diinterpretasikan. Dengan alas an ini maka pada daerah endemis tidak dianjurkan pemeriksaan antibodi H S.typhi, cukup pemeriksaan titer terhadap antibodi O S.typhi.
Titer widal biasanya angka kelipatan : 1/32 , 1/64 , 1/160 , 1/320 , 1/640.
    • Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu) : dinyatakan (+).
    • Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan, apakah ada kenaikan titer. Jika ada, maka dinyatakan (+).
    • Jika 1 x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung dinyatakan (+) pada pasiendengan gejala klinis khas.
REEFEERENSI
    • Kemampuan Uji Tabung Widal Menggunakan Antigen Import dan Antigen Lokal. Puspa Wardhani, Prihatini, Probohoesodo, M.Y. Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Unair/RSU Dr Soetomo Surabaya.
    • Metode Diagnostik Demam Tifoid Pada Anak. Risky Vitria Prasetyo, Ismoedijanto. Divisi Tropik dan Penyakit Infeksi . Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo Surabaya

No comments:

Post a Comment

Followers